Bila anda pernah ke Sumba, atau daerah-daerah lain di Nusa Tenggara
Timur, mungkin anda pernah mendengar, melihat, atau mengalami sendiri
kejadian seseorang menderita sakit perut yang hebat, yang rasanya
melilit-lilit, perut serasa diaduk-aduk, hingga dapat membuat
penderitanya meraung-raung, bahkan menangis dan meronta-ronta seperti
orang kesurupan. Dibawa ke dokter dan diberi obat tidak mengurangi rasa
sakit ini, bahkan terkadang sakitnya semakin hebat. Sakit penderita baru
mereda hanya setelah pusar di perut penderita disembur dengan campuran
sirih pinang dan ludah oleh seseorang yang dipanggil secara khusus untuk
mengobati penderita. Inilah fenomena yang oleh orang NTT dikenal
sebagai “Kena Na’i” dan proses penyembuhan dengan ludah sirihnya dikenal
dengan istilah “Puppe”.
Dari pengalaman pribadi dan informasi yang saya dapat dari orang-orang
dekat yang sering berhubungan dengan fenomena ini, Na’i biasanya
terdapat di daerah-daerah dimana di daerah tersebut ada komunitas suku
Sabu (Sabu adalah sebuah pulau kecil di NTT yang terletak antara Pulau
Sumba dan Rote). Saya sendiri belum pernah mendengar kalau Na’i juga
dimiliki oleh suku-suku lain di NTT.
Berikut ini saya akan mencoba memberi sedikit pencerahan kepada
teman-teman khususnya yang berasal dari luar daerah NTT mengenai
fenomena Na’i ini.
Dari penjelasan seorang pria teman dekat ayah saya yang sering
dimintai tolong untuk mengobati penderita, Na’i sebenarnya adalah
sejenis ilmu klenik dari suku Sabu yang diwariskan secara turun temurun
dalam keluarga mereka. Ilmu ini bertujuan melindungi diri dan keluarga
mereka beserta propertinya (buah-buahan dan sayuran di kebun, bangunan
rumah, dll) terhadap ancaman dari luar. Teman-teman dari Jawa mungkin
akan menganggap ilmu ini sebagai ilmu “Santet”, namun dari pemahaman
pribadi saya, Santet berbeda dengan Na’i. Na’i tidak dapat “diarahkan”
dengan sengaja untuk menyerang seseorang. Ia hanya akan menyerang
seseorang yang membuat pemilik ilmu Na’i ini merasa terancam. Pemahaman
ini saya dapat dari analisis pengalaman pribadi saya yang pernah terkena
Na’i di masa kecil. Saat itu saya memiliki kebiasaan konyol membuntuti
orang hanya untuk menjejakkan telapak kaki saya ke jejak telapak kaki
orang yang saya buntuti. Beberapa hari kemudian saya terkena dan baru
sembuh setelah di-puppe oleh seorang tante yang dikenal oleh orang tua
saya memiliki ilmu ini. Namun banyak juga yang meragukan hal ini, karena
sering ada kejadian dimana seseorang terkena Na’i meskipun dirinya
(menurut penilaian dirinya dan orang-orang dekatnya) tidak menimbulkan
ancaman bagi masyarakat sekelilingnya (berperilaku berandalan, suka
mencuri, atau sejenisnya).
Teman dekat ayah saya menceritakan pengalamannya mengapa sampai ia
harus berguru ke seseorang hingga memperoleh ilmu Na’i ini. Menurutnya
awal dari dirinya sampai berilmu Na’i disebabkan dirinya dan keluarganya
(istri dan anak-anaknya) begitu seringnya terkena serangan Na’i yang
membuatnya sangat kesal dan menderita, padahal ia tidak pernah
menyusahkan atau mengancam orang lain. Ia berangkat ke sebuah daerah
pelosok Sumba Timur menemui seseorang yang oleh kalangan masyarakat
klenik terkenal sebagai sepuh untuk ilmu Na’i ini. Di sana ia diterima
dengan baik dan diberi ilmu ini setelah sang sepuh mendengarkan alasan
dirinya ingin berilmu Na’i. Namun ia telah diwanti-wanti oleh sang sepuh
bahwa setelah memiliki ilmu ini ia wajib menolong orang lain yang
terkena serangan Na’i. Ia juga diwanti-wanti beratnya penderitaan di
awal-awal memiliki ilmu Na’i ini. Seluruh anggota keluarganya harus
menderita serangan Na’i setiap hari selama lebih dari seminggu, dan
setiap hari itu, ia harus melakukan puppe pada mereka satu persatu.
Namun setelah penderitaan awal itu lewat, dirinya dan keluarganya aman
dari serangan Na’i. Bahkan sejak pria ini dekat dekat keluarga kami,
kami sekeluargapun tidak pernah terkena Na’i.
Na’i ada beberapa jenis, namun yang paling sering saya dengar adalah
Na’i Ular dan Na’i Buaya. Tidak jelas mana yang lebih berbahaya, di masa
kecil saya ingat pernah diberitahu bahwa Nai’ Buayalah yang paling
berbahaya, kabarnya kalau dalam tempo tiga jam tidak di-puppe akan
berakibat kematian. Namun berlakangan oleh teman ayah saya, saya
diberitahu kalau yang tiga jam tidak di-puppe dapat berakibat fatal itu
adalah Na’i Ular.
Gejala yang paling sering nampak adalah sakit perut melilit, namun
sering juga berupa gejala lain seperti muntah-muntah, atau berak
(mencret) terus menerus, seperti gejala disentri. Malah sering saya
dengar ada yang keluhannya berupa sakit tulang disertai pembengkakan
terutama di daerah persendian mirip penyakit rematik, yang biasa disebut
dengan Na’i Tulang.
Na’i
hanya bisa disembuhkan dengan puppe oleh pemilik ilmu Na’i tersebut,
atau masih dalam lingkungan keluarga pemilik ilmu Na’i tersebut. Sering
ada kejadian penderita tidak langsung sembuh setelah di-puppe, karena
Na’i penderita ternyata bukan berasal dari orang yang melakukan puppe.
Saya tidak yakin ada dokter di Sumba yang percaya dengan hal-hal
yang berbau klenik seperti ini, karena menurut saya, tidak mungkin
seorang dokter mau ditertawakan karena percaya dengan hal-hal yang tidak
ilmiah, meskipun saya sendiri sering mendengar cerita ada dokter-dokter
tertentu yang percaya dengan hal ini dan menyarankan puppe untuk
penyembuhan.
Demikian tulisan ini saya buat dengan tujuan hanya untuk
memberikan sedikit pencerahan kepada teman-teman yang belum mengetahui
tentang fenomena ini. Saya berharap teman-teman dari luar NTT jangan
sampai takut untuk datang ke NTT, karena saya yakin, selama sikap kita
kepada sesama adalah wajar dan tulus, Tuhan tidak akan membiarkan kita
dicelakai orang. Saya pribadi bukan orang yang mudah percaya dengan
hal-hal klenik, namun saya juga tidak mau menutup diri dari berbagai
kemungkinan. Menurut pemahaman saya, adalah mungkin bahwa Tuhan membuka
berbagai jalan kemungkinan penyelesaian terhadap berbagai masalah untuk
mendekatkan kita dengan sesama.
Kepada teman-teman dan saudara-saudari yang memiliki pemahaman
lebih baik mengenai Na’i ini mohon bisa mengoreksi atau menambahkan agar
dapat menambah wawasan kita dalam kehidupan bermasyarakat. Salam…