Sumba Barat (1): Pasir Putih, Gelombang dan Batu Kubur
View pantai Marosi sebelah kanan dan ombak dikejauhan |
Pantai Kerewee di sebelah pantai Marosi |
Namun tiga hari di Tambolaka nyaris menghabiskan hari dengan suasana kantor-hotel-jalan malam cari makan. Mendung nyaris tak pernah bergeser dari langit, rintik hujan sering lebih lama. Dan itu masih ditambah lagi koneksi internet yang nyaris tidak bisa digunakan.
Sebenarnya di belakang hotel Pelita yang aku tempati ada sebuah perkampungan adat yang bisa kudatangi tapi informasinya kalau musim hujan begini becek sekali karena kondisi tanahnya berlumpur.
Untung hari Minggu masih ada kesempatan jalan-jalan. Aku, Andri dan Aris yang menjadi guide lokal kami selama perjalanan. Peranakan Sabu-Rote dan terdampar di Sumba ini pula yang mengajak aku dan Andri mengunjungi Pantai Marosi. Pantai berpasir putih tentu saja, nyaris seluruh kawasan pantai di wilayah Sumba ini adalah pantai berpasir putih, tentu saja karena di Sumba tidak memiliki daerah gunung aktif.
Batu kubur di atas perbukitan Lamboya |
Perbukitan hijau ini masih dipenuhi dengan sampah-sampah plastik baik bekas makanan dan minuman bekas penonton yang dibuang sembarangan. Kesadaran masyarakat tentang sampah masih kecil, masih perlu upaya lebih untuk membudayakan hidup bersih dan tidak membuang sampah sembarangan. Sayang, padahal kalau tidak ada sampah suasana tempat ini lumayan menyenangkan. Menurutku, tempat pertandingan Pasola yang paling bagus viewnya adalah disini karena di lapangan ini hanya rerumputan dan tidak ada bangunan lain, kubur batu hanya ada beberapa yang letaknya di gundukan atas pinggir lapangan.
Sekumpulan kerbau asyik berkubang tidak terganggu dengan kehadiran kami. Dari ujung lapangan tampak lautan yang ombaknya bergulung-gulung. Aris menunjuk beberapa pantai yang tampak di kejauhan.
Ombak dan hamparan pasir kehitaman di sepanjang pantai Kerewee |
Dataran pasir kehitaman harus terhampar datar panjang sepanjang pantai. Tampak sebuah gugusan pulau karang kecil di sebelah kanan dan seperti sebuah bekas muara yang airnya telah kering. Waktu aku mendekati ternyata karang itu agak unik karena ternyata karang yang berlubang. Mendung di kejauhan pantai tampak garang menutup celah langit dari warna biru. Bener-bener waktu yang kurang tepat.
Pulau karang berlubang di pantai Kerewee |
Beberapa pasangan tampak berdatangan di pantai ini selain juga ada rombongan namun suasana masih tidak ramai. Potensi pantai ini sekarang memang belum banyak dikenal, namun aku juga mendengar informasi yang masih kabur kalau ada beberapa investor yang berminat untuk membangun lokasi wisata dan peristirahatan di tempat ini seperti halnya lokasi Nihiwatu yang tidak jauh letaknya dari pantai Kerewee.
Hamparan pasir di sebelah kiri setelah muara pantai Marosi |
Karakter pantai yang pasti menarik kalangan wisaatawan mancanegara. Sepertinya pantai-pantai disini hanya tinggal menunggu investor untuk membuat kawasan pantai disini menjadi kawasan wisata kelas dunia. Nihiwatu telah membuktikan reputasinya sebagai tempat yang banyak orang terkesan dengannya.
Di sebelah kanan pantai Marosi terdapat sebuah gugusan karang dan muara yang airnya tidak dalam namun keras. Beberapa ratus meter dari muara itu adalah Sumba Nautil Resort. Ombak di kawasan sana memang terasa lebih kencang, tampak sekali karang-karang seperti tertutup kabut tipis akibat tempias ombak yang kencang. Jika di pantai Marosi ini ombak tidak terlalu keras karena beberapa ratus meter ke depan ada gugusan karang yang menjadi penghalang alami gelombang.
Kami pulang lebih awal dari rencana karena matahari tidak muncul seperti yang kami harapkan. Sumba masih tetap dengan mendungnya. Sebelum pulang Aris membagi-bagikan makanan yang kami bawa ke anak-anak karena tersisa banyak sekali. Acara bagi-bagi makanan cukup seru, ada saja akal Aris.
Besoknya, kami sempatkan mengunjungi kampung adat yang ada di kota Tambolaka yang merupakan kampung tertua dan menjadi pusat acara orang Loli yaitu kampung Weetabar dan kampung Tarung.
2 comments:
beutifull.....
iya bagus bgt
Post a Comment